PT Freeport
Indonesia adalah
sebuah perusahaan afiliasi dari Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc.. PT Freeport Indonesia menambang, memproses dan
melakukan eksplorasi terhadap bijih yang mengandung tembaga, emas, dan perak.
Beroperasi di daerah dataran tinggi di kabupaten
Mimika, provinsi
Papua, Indonesia. Freeport Indonesia memasarkan
konsentrat yang mengandung tembaga, emas dan perak ke seluruh penjuru dunia.
Sejarah Kontrak Karya
·
1936 – Jacques Dozy menemukan cadangan ‘Ertsberg’.
·
1960 – Ekspedisi Forbes Wilson untuk menemukan kembali ‘Ertsberg’.
·
1967 – Kontrak Karya I (Freeport Indonesia Inc.) berlaku selama 30 tahun
sejak mulai beroperasi tahun 1973.
·
1988 – Freeport menemukan cadangan Grasberg. Investasi yang besar dan
risiko tinggi, sehingga memerlukan jaminan investasi jangka panjang.
·
1991 – Kontrak Karya II (PT Freeport Indonesia) berlaku 30 tahun dengan
periode produksi akan berakhir pada tahun 2021, serta kemungkinan perpanjangan
2x10 tahun (sampai tahun 2041)
Sejarah PT. Freeport
Awal
mula PT Freeport Indonesia berdiri, sesungguhnya terdapat kisah perjalanan yang
unik untuk diketahui. Pada tahun 1904-1905 suatu lembaga swasta dari Belanda
Koninklijke Nederlandsche Aardrijkskundig Genootschap (KNAG) yakni Lembaga
Geografi Kerajaan Belanda, menyelenggarakan suatu ekspedisi ke Papua Barat Daya
yang tujuan utamanya adalah mengunjungi Pegunungan Salju yang konon kabarnya
ada di Tanah Papua.
Catatan
pertama tentang pegunungan salju ini adalah dari Kapten Johan Carstensz yang
dalam perjalanan dengan dua kapalnya Aernem dan Pera ke “selatan” pada tahun
1623 di perairan sebelah selatan Tanah Papua, tiba-tiba jauh di - pedalaman
melihat kilauan salju dan mencatat di dalam buku hariannya pada tanggal 16
Februari 1623 tentang suatu pegungungan yang “teramat tingginya” yang pada
bagian-bagiannya tertutup oleh salju. –Catatan Carsztensz ini menjadi cemoohan
kawan-kawannya yang menganggap Carstensz hanya berkhayal.
Walaupun
ekspedisi pertama KNAG tersebut tidak berhasil menemukan gunung es yang
disebut-sebut dalam catatan harian Kapten Carstensz, inilah cikal bakal
perhatian besar Belanda terhadap daerah Papua. Peta wilayah Papua pertama kali
dibuat dari hasil ekspedisi militer ke daerah ini pada tahun 1907 hingga 1915.
Ekspedisi-ekspedisi militer ini kemudian membangkitkan hasrat para ilmuwan
sipil untuk mendaki dan mencapai pegunungan salju.
Beberapa
ekspedisi Belanda yang terkenal dipimpin oleh Dr. HA.Lorentz dan Kapten A.
Franzen Henderschee. Semua dilakukan dengan sasaran untuk mencapai puncak
Wilhelmina (Puncak Sudirman sekarang) pada ketinggian 4,750 meter. Nama Lorentz
belakangan diabadikan untuk nama Taman Nasional Lorentz di wilayah suku Asmat
di pantai selatan.
Pada
pertengahan tahun 1930, dua pemuda Belanda Colijn dan Dozy, keduanya adalah
pegawai perusahaan minyak NNGPM yang merencanakan pelaksanaan cita-cita mereka
untuk mencapai puncak Cartensz. Petualangan mereka kemudian menjadi langkah
pertama bagi pembukaan pertambangan di Tanah Papua empat puluh tahun kemudian.
Pada
tahun 1936, Jean Jacques Dozy menemukan cadangan Ertsberg atau disebut gunung
bijih, lalu data mengenai batuan ini dibawa ke Belanda. Setelah sekian lama
bertemulah seorang Jan Van Gruisen – Managing Director perusahaan Oost
Maatchappij, yang mengeksploitasi batu bara di Kalimantan Timur dan Sulawesi
Tengggara dengan kawan lamanya Forbes Wilson, seorang kepala eksplorasi pada
perusahaan Freeport Sulphur Company yang operasi utamanya ketika itu adalah
menambang belerang di bawah dasar laut. Kemudian Van Gruisen berhasil
meyakinkan Wilson untuk mendanai ekspedisi ke gunung bijih serta mengambil
contoh bebatuan dan menganalisisnya serta melakukan penilaian.
Pada
awal periode pemerintahan Soeharto, pemerintah mengambil kebijakan untuk segera
melakukan berbagai langkah nyata demi meningkatkan pembanguan ekonomi. Namun
dengan kondisi ekonomi nasional yang terbatas setelah penggantian kekuasaan,
pemerintah segera mengambil langkah strategis dengan mengeluarkan Undang-undang
Modal Asing (UU No. 1 Tahun 1967).
Dampak PT Freeport terhadap Lingkungan
Kegiatan pertambangan yang dilakukan
oleh PT Freeport menyebabkan kerusakan lingkungan. Berita yang dilaporkan oleh
detik.com mengatakan bahwa, 25 Anggota Komisi IV DPR-RI meninjau lingkungan
sungai dan laut areal pembuangan limbah tailing dari PT Freeport Indonesia di
Portsite Amamapare, Timika, pada bulan November 2011. Para wakil rakyat itu
berkomentar, “Limbah tailing (butiran pasir alami hasil pengolahan konsentrat)
yang mengalir dari areal penambangan ke sungai, telah membuat sungai menjadi
dangkal dan biota alam di sungai Ajkwa dan laut sekitarnya ikut terganggu,
sehingga hal tersebut harus dipertanggungjawabkan”. Ini merupakan sebuah
ungkapan keprihatinan rakyat Indonesia melalui wakil – wakilnya di DPR tentang
kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh penambangan Freeport. 9
Persoalan yang sama juga terjadi pada
lingkungan ekosistem hutan. Penambangan Freeport telah menghasilkan galian
berupa potential acid drainase (air asam tambang). Sehari-hari Freeport
memproduksi tidak kurang dari 250.000 metrik ton bahan tambang. Material bahan
yang diambil hanya 3 persen. Inilah yang diolah menjadi konsentrat kemudian
diangkut ke luar negeri melalui pipa yang dipasang ke kapal pengangkut di Laut
Arafuru. Sisanya, sebanyak 97 persen berbentuk tailing. Hasilnya, aktivitas ini
menimbulkan vegetasi hutan daratan rendah seperti Dusun Sagu masyarakat
Kamoro di Koprapoka, dan beberapa
dataran rendah di wilayah Timika menjadi hancur.
Kepala Perwakilan Greenpeace Indonesia
Nur Hidayati di dalam media Indopos Online mengatakan, akibat penambangan
Freeport selama 44 tahun di Papua, diperkirakan Indonesia kehilangan 300.000
hektar 10 hutan per tahun. Peneliti lingkungan ini juga mengungkapkan, sudah
hampir 9 juta hektar hutan Papua telah diidentifikasi untuk kepentingan
pengembangan industri skala besar. Hampir dua juta hektar telah dialokasikan
pemerintah untuk pengembangan food and energy estate di Merauke. ”Karena itu,
solusinya aktifitas tambang di Papua harus dihentikan sementara, kemudian
dihitung ulang dampak kerugiannya. Karena jika dilanjutkan tanpa kontrol maka
bisa makin parah kerusakan lingkungan yang terjadi”
Selain itu, dampak pengerukan dan juga
pembuangan limbah sisa tambang dalam jumlah besar ke badan-badan sungai hingga
ke laut yang seringkali juga mengandung berbagai bahan kimia juga berbahaya
bagi ekosistem di perairan.
Dampak PT Freeport terhadap Kemanusiaan
Kegiatan penambangan PT Freeport memicu
sejumlah peristiwa-peristiwa bentrok dan kerusuhan yang terjadi baik di Papua
maupun di wilayah lain di Indonesia. Kerusuhan ini terjadi karena luapan rasa
ketidakadilan yang dirasakan rakyat Indonesia, terutama di Papua atas kegiatan
pertambangan PT Freeport. Peristiwa bentrok yang terjadi kadang sampai
menimbulkan korban jiwa. Berikut ini merupakan sekilas kasus-kasus kerusuhan
yang terjadi terkait dengan PT Freeport yang terjadi pada tahun 2006-2011. 11
21 Februari 2006,
terjadi pengusiran terhadap penduduk setempat yang melakukan pendulangan emas
dari sisa-sisa limbah produksi Freeport di Kali Kabur Wanamon. Pengusiran
dilakukan oleh aparat gabungan kepolisian dan satpam Freeport. Akibat
pengusiran ini terjadi bentrokan dan penembakan. Penduduk sekitar yang
mengetahui kejadian itu kemudian menduduki dan menutup jalan utama Freeport di
Ridge Camp, di Mile 72-74, selama beberapa hari. Jalan itu merupakan
satu-satunya akses ke lokasi pengolahan dan penambangan Grasberg.
22 Februari 2006,
sekelompok mahasiswa asal Papua beraksi terhadap penembakan di Timika sehari
sebelumnya dengan merusak gedung Plasa 89 di Jakarta yang merupakan gedung
kantor PT Freeport Indonesia.
23 Februari 2006,
masyarakat Papua Barat yang tergabung dalam Solidaritas Tragedi Freeport
menggelar unjuk rasa di depan Istana, menuntuk presiden untuk menutup Freeport
Indonesia. Aksi yang sama juga dilakukan oleh sekitar 50 mahasiswa asal Papua
di Manado. 12
27
Februari 2006, Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat menduduki
kantor PT Freeport Indonesia di Plasa 89, Jakarta. Terjadi bentrok yang
mengakibatkan 8 orang polisi terluka.
1 Maret 2006,
demonstrasi selama 3 hari di Plasa 89 berakhir. 8 aktivis LSM yang mendampingi
mahasiswa Papua ditangkap dengan tuduhan menyusup ke dalam aksi mahasiswa Papua
7 Maret 2006,
demonstrasi di Mile 28, Timika di dekat bandar udara Moses Kilangin
mengakibatkan jadwal penerbangan pesawat terganggu.
14 Maret 2006,
massa penentang penambangan Freeport yang membawa anak panah dan tombak menutup
checkpoint 28 di Timika. Massa juga mengamuk di depan Hotel Sheraton.
15 Maret 2006,
Polisi membubarkan massa di Mile 28 dan menangkap delapan orang yang dituduh
merusak Hotel Sheraton. Dua orang polisi terkena anak panah.
16 Maret 2006,
aksi pemblokiran jalan di depan Kampus Universitas Cendrawasih, Abepura,
Jayapura, oleh masyarakat dan mahasiswa yang tergabung dalam Parlemen Jalanan
dan Front Pepera PB Kota Jayapura, berakhir dengan bentrokan berdarah.
Peristiwa ini menyebabkan 3 orang anggota Brimob dan 1 intelijen TNI tewas dan
puluhan luka-luka baik dari pihak mahasiswa dan pihak aparat.
17 Maret 2006,
Tiga warga Abepura, Papua, terluka akibat terkena peluru pantulan setelah
beberapa anggota Brimob menembakkan senjatanya ke udara di depan Kodim Abepura.
Beberapa wartawan televisi yang meliput dianiaya dan dirusak alat kerjanya oleh
Brimob.
22 Maret 2006,
satu lagi anggota Brimob meninggal dunia setelah berada dalam kondisi kritis
selama enam hari
23 Maret 2006,
lereng gunung di kawasan pertambangan terbuka PT Freeport Indonesia di
Grasberg, longsor dan menimbun sejumlah pekerja. 3 orang meninggal dan puluhan
lainnya cedera .
18 April 2007,
sekitar 9.000 karyawan Freeport mogok kerja untuk menuntut perbaikan kesejahteraan.
Perundingan akhirnya diselesaikan pada 21 April setelah tercapai kesepakatan
yang termasuk mengenai kenaikan gaji terendah.
21 Oktober 2011,
sekitar tiga orang tewas akibat insiden penembakan di kawasan Freeport Timika
Papua. Marcelianus, seorang personil polri berpangkat Brigadir Polisi Satu juga
tewas tertembak.
November 2011,
aksi unjuk rasa pekerja PT Freeport di Papua berujung pada penembakan yang
menyebabkan kematian di kalangan pengunjuk rasa.
Kejadian – kejadian yang telah
disebutkan di atas hanyalah sebagian dari tragedi kemanusiaan yang disebabkan
ketidakpuasan rakyat Indonesia terhadap PT Freeport Indonesia. Namun dari
pemaparan tersebut sudah menunjukkan dampak negatif dari eksplorasi tambang
yang dilakukan oleh PT Freeport.
Dampak PT Freeport terhadap Perekonomian
Indonesia
Aktivitas pertambangan PT Freeport di
Papua yang dimulai sejak tahun 1967 hingga saat ini telah berlangsung selama 46
tahun. Selama ini, kegiatan bisnis dan ekonomi Freeport di Papua, telah
mencetak keuntungan finansial yang sangat besar bagi perusahaan asing tersebut,
namun belum memberikan manfaat optimal bagi negara, Papua, dan masyarakat lokal
di sekitar wilayah pertambangan.
Dari tahun ke tahun Freeport terus
mereguk keuntungan dari tambang emas, perak, dan tembaga terbesar di dunia.
Para petinggi Freeport terus mendapatkan fasilitas, tunjangan dan keuntungan
yang besarnya mencapai 1 juta kali lipat pendapatan tahunan penduduk Timika,
Papua. Keuntungan Freeport tak serta merta melahirkan kesejahteraan bagi bangsa
Indonesia, khususnya warga sekitar.
Pendapat mengenai PT.
Freeport
Menurut kami, PT Freeport sebaiknya ditiadakan , karena
perusahaan itu sebenarnya dimiliki oleh negara Asing. Hasil bumi yang ada di
Indonesia di ambil oleh negara lain dan dijual ke seluruh negara serta
hasilnya menjadi pendapatan negaranya bukan negara kita Indonesia. Sedangkan
pendapatan untuk negara Republik Indonesia ini hanyalah sedikit saja, melainkan
beberapa persen dari penghasilan. PT Freeport ini bukan pendapatan
negara, karena seharusnya perusahaan yang berdiri disuatu wilayah bisa
mensejahterakan wilayahnya. Tetapi faktanya bahwa Papua Barat terkenal dengan
kemiskinannya, pengganguranya dan kesehatan sangatlah kurang terutama dalam
air, karena air yang digunakan itu sudah tercemar oleh limbah dari PT Freeport
itu sendiri. Pekerja PT Freeport ini sendiri, mempekerjakan dari luar bukan
putra/putri bangsa. Tetapi sekarang PT Freeport ini licik, semua karyawan yang
dipekerjakan adalah warga seluruh Indonesia supaya Pemerintah Indonesia sendiri
dapat memperpanjang kontrak kerja sama , karena mengurangi pengangguran yang
ada. Walaupun menggunakan tenaga kerja dari Indonesia, namun kebanyakan warga
asli daerah Papua hanyalah menjadi buruh tambang. Karena itu, perekonomian
warga sekitar pertambangan masih saja kekurangan.Selain itu, alam Papua sudah
terlalu parah terekploitasi, sehingga banyak yang tercemar atau bahkan rusak.
Kerugian yang diperoleh karena adanya PT. Freeport Indonesia tidak sebanding
dengan keuntungan yang didapatkan. Keuntungan yang besar hanyalah didapat oleh
negara asing.
Saran
Untuk Pemerintah
Pemerintah seharusnya berani mengambil alih saham PT.
Freeport sehingga PT. Freeport sepenuhnya menjadi hak Indonesia, bukan menjadi
hak negara lain karena bagaimanapun lokasi pertamabangan berada di tanah
Indonesia. Pemerintah juga harus berani menolak perjanjian-perjanjian kontrak
freeport dengan Amerika di masa mendatang. Jangan sampai Indonesia selalu
dimanfaatkan oleh negara lain.Pemerintah Indonesia harus berani untuk lebih
mandiri dalam mengelola sumber daya alam yang berada di tranah air.
Pemerintah juga dapat melakukan evaluasi terhadap jalannya
bertambangan. Melakukan evaluasi dari berbagai aspek, khususnya sumber daya,
baik sumber daya alam maupun sumber daya manusianya. Serta laporan hasil
penemuan yang bisa saja sebenarnya digelapkan oleh pihak asing sehingga
keuntungan bagi Indonesia hanya sedikit dan semakin sedikt. Pemerintah
seharusnya mempekerjakan lebih banyak ahli yang berasal dari Indonesia,
khususnya dari tanah Papua. Karena lokasi pertambangan berada di tanah
kelahirannya. Sehingga para penduduk sekitar pertambangan juga dapat merasakan
keuntungan dari PT. Freeport, bukan hanya merasakan kerugiannya saja.
Lingkungan
yang telah rusak seharusnya lebih diperhatikan oleh pemerintah. Jangan sampai
kerusakan semakin melebar dan semakin parah. Kesehatan dan kehidupan masyarakat
di sekitar tambang juga harus diperhatikan. Karena kesehatan masyarakat di
sekitar tambang berkurang yang disebabkan oleh tercemarnya sungai-sungai yang
mereka pakai untuk kebutuhan setiap harinya. Selain itu, kerusakan yang sudah
ada seharusnya dapat diperbaiki atau direhabilitasi sehingga dapat menjadi
ruang terbuka hijau lagi. Atau dapat dimanfaatkan untuk masyarakat sekitar
sebagai mata perncaharian.
Daftar Pustaka:
Anggota Kelompok 10 :
- Annisa Dian Pratiwi (20216940)
- Nafila Qinananti Alifyanur Rachmanda (25216287)
- Syafa Devi Wicinda (27216216)